Pemilu 2019: 'Pertarungan Pancasila vs khilafah' laku karena pemilih 'belum rasional'

Pernyataan mantan kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, yang mengatakan bahwa Pilpres 2019 merupakan pertarungan ideologi antara Pancasila dan khilafah, dianggap sebagai contoh terbaru dinamika politik identitas yang kental terasa pada pemilu kali ini.
Pengamat politik menilai, taktik semacam itu masih banyak dimakan pemilih yang dianggap "belum rasional".
"Sayangnya masih (terpengaruh politik identitas). Bahkan terjadi di kota-kota besar, termasuk Jakarta sekali pun," ungkap Yunarto Wijaya, direktur eksekutif Charta Politika, kepada BBC News Indonesia (3/4).
Menurutnya, perilaku memilih pemegang hak suara sangat dipengaruhi oleh strategi kampanye kedua kubu.
"Pemilih ini kan suka atau tidak suka akan terbawa dengan situasi psikologis yang dibangun kandidat dan timses," tuturnya.
"Jadi, selama partai kita masih bermasalah, timses kita, bahkan kandidat kita masih bermasalah, belum matang dalam berdemokrasi, masih memainkan isu SARA, menurut saya mau tidak mau akan terbawa."
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaku hanya bisa mengeluarkan imbauan kepada para peserta pemilu untuk tidak melancarkan kampanye dengan menggunakan politik identitas, dan kepada pemilih untuk memilih dengan melihat visi-misi kandidat.
"Iya, karena memang begitu yang bisa kita lakukan, tinggal kemudian masyarakat memilih," ujar komisioner KPU Ilham Saputra.
Di sisi lain, timses kedua pasangan capres-cawapres mengklaim bahwa mereka berupaya untuk mengedepankan program kerja para paslon saat berkampanye. Akan tetapi, mereka mengaku tak bisa membiarkan begitu saja serangan-serangan politik identitas menerpa calon yang mereka dukung.

Saling tuduh dan saling klaim

Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf mengaku bahwa kampanye program saja tak cukup untuk merebut suara rakyat.
"Politik identitas yang dipakai oleh pihak lawan harus kita lawan juga," ujar juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arya Sinulingga.
Menurut Arya, karena pihak lawan tetap mengeluarkan isu-isu politik identitas, seperti isu Jokowi akan meniadakan azan (panggilan ibadah umat Islam) dan pendidikan agama Islam, maka timnya akan melawan dengan mengklarifikasi tuduhan tersebut.
"Yang kita lawan kan hoaksnya, bukan politik identitas(nya) yang kita angkat, tapi politik identitas yang dibikin jadi sebuah politicking yang dipakai untuk meraih kekuasaan," tuturnya.
Di kubu seberang, langkah serupa diambil.
Merasa diserang dengan kampanye hitam yang menuduh Prabowo sebagai pendukung 'Islam radikal' dan 'khilafah', Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi tak tinggal diam.
"Hasto (Kristianto) bilang (Prabowo) 'Islam Radikal', lalu Luhut Binsar sama Hendro(priyono) bilang bahwa ini (Pilpres 2019) antara khilafah dan Pancasila. Itu kan fitnah," ungkap Andre Rosiade, juru bicara BPN Prabowo-Sandi, kepada BBC.
Namun Andre mengklaim bahwa BPN tidak menjalankan strategi politik identitas. Ia mengaku timnya telah mensosialisasikan hal itu kepada jajaran pendukung Prabowo-Sandi.
"Bilang Pak Jokowi kafir itu nggak boleh, bilang Pak Jokowi itu PKI itu nggak boleh, kita harus bicara program.
"Tapi kalau ada yang bilang Pak Jokowi bohong, ya itu masuk akal, karena kan banyak tidak menepati janji kampanyenya," ujarnya.

'KPU hanya bisa mengimbau'

Aksi saling serang di antara kedua kubu disadari oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu. Meski demikian, menurut komisioner KPU Ilham Saputra, peran KPU terbatas hanya pada memberikan imbauan terkait masalah tersebut.
"KPU hanya bisa mengimbau, kita mengimbau bahwa kemudian jangan melakukan cara-cara seperti itu (politik identitas)," kata Ilham, Rabu (3/4).
Ia mengaku bahwa KPU sendiri sejauh ini telah mensosialisasikan pemilu yang rasional, di mana pemilih diharapkan untuk memilih sesuai visi-misi kandidat dan hati nurani.
Upaya menciptakan pemilu rasional tersebut dikatakan Ilham dilakukan dengan "mengumumkan orang-orang yang pernah terlibat korupsi, kemudian juga nanti kita juga memastikan orang-orang yang bersih ini mau melaporkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara)".
KPU hanya meminta pemilih memilih dengan bijak.
"Sekarang kan lagi masa kampanye rapat umum nih, biarkan masyarakat memilih, menilai, dan kemudian memilih berdasarkan keinginan mereka," ungkapnya.
"Jangan kemudian (memilih) gara-gara diancam-ancam, dikasih bayar uang, sehingga mereka memilih karena itu, bukan karena sesuai hati nurani."

Antara pilihan rasional dan hati nurani

Menurut pengamat politik Yunarto Wijaya, pilihan hati nurani dengan pilihan rasional bukanlah hal yang sama.
"Ketika dikatakan sesuai dengan keimanan, hati nurani, jatuhnya bisa kemudian kita berbicara mengenai isu primordial saja. Kalau hati nurani bisa saja diartikan dengan apakah ini dosa atau tidak," paparnya.
Isu primordial sendiri merupakan hal-hal yang dikenal pemilih sejak kecil, mulai dari tradisi, adat istiadat, agama, kepercayaan, dan lain sebagainya.
Sementara pilihan rasional, menurut Yunarto, seharusnya bisa dipertimbangkan dengan melihat rekam jejak dan nilai-nilai yang diusung para kandidat. Terlebih, pemilihan presiden kali ini mempertemukan dua sosok yang sama, yang seharusnya membuat pemilih lebih mudah menelusuri berbagai sikap dan kebijakan mereka.
"Temanya mengevaluasi kebijakan inkumben," tuturnya.

"(Jika) inkumben dipersepsikan baik, dia akan terpilih. (Jika) inkumben dipersepsikan tidak baik, dia tidak akan terpilih, sehingga bahasan tentang kebijakan, program, harusnya lebih ramai dibicarakan dibandingkan dengan (tahun) 2014 ketika dua-duanya adalah orang baru," papar Yunarto.
Namun, melihat kondisi pemilu tahun ini yang disebutnya lebih buruk dibandingkan tahun 2014, ia tak yakin pemilih rasional akan mendominasi pemilu kali ini.
Tensi terkait isu primordial disebutnya semakin meningkat sejak kasus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, yang berakhir dengan pemenjaraan mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Hal itu diperkuat dengan berkembangnya populisme agama beberapa waktu terakhir.
"Kualitas kampanye itu malah jadi lebih rendah, karena isu-isu yang mensegregasi masyarakat ini malah lebih terjadi di 2019," ungkapnya.
Selain itu, peran Badan Pengawas Pemilu pun menjadi sorotan.
Menurut Yunarto, peran Bawaslu masih sangat minim dalam menanggulangi pelanggaran-pelanggaran pemilu yang menyinggung SARA (Suku, Agama, Tas, Antar Golongan).
"Apakah mereka punya perangkat untuk mengatasi isu tersebut (politik identitas)? Akhirnya lebih banyak (dilaporkan) ke polisi dalam konteks pidana," katanya.
sumber: www.bbc.com

Komentar

Postingan Populer